TINJAUAN
PUSTAKA
A. KONSEP DASAR
1.
Pengertian
a. Fraktur
Adalah terputusnya kontinuitas
jaringan tulang yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, Arif, et al, 2000).Sedangkan
menurut Linda Juall C. dalam buku Nursing Care Plans and Dokumentation
menyebutkan bahwa Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan
tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang.
Pernyataan ini sama yang diterangkan dalam buku Luckman and Sorensen’s Medical
Surgical Nursing.
b. Patah Tulang Tertutup
Didalam buku Kapita Selekta
Kedokteran tahun 2000, diungkapkan bahwa patah tulang tertutup adalah patah
tulang dimana tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar.
Pendapat lain menyatidakan bahwa patah tulang tertutup adalah suatu fraktur
yang bersih (karena kulit masih utuh atau tidak robek) tanpa komplikasi
(Handerson, M. A, 1992).
c. Patah Tulang Humerus
Adalah diskontinuitas atau hilangnya
struktur dari tulang humerus yang terbagi atas :
1) Fraktur Suprakondilar
Humerus
2) Fraktur Interkondiler
Humerus
3) Fraktur Batang Humerus
4) Fraktur Kolum Humerus
Berdasarkan
mekanisme terjadinya fraktur :
1) Tipe Ekstensi
2) Trauma terjadi ketika
siku dalam posisi hiperekstensi, lengan bawah dalam posisi supinasi.
3) Tipe Fleksi
Trauma
terjadi ketika siku dalam posisi fleksi, sedang lengan dalam posisi pronasi.
(Mansjoer,
Arif, et al, 2000)
d. Platting
Adalah salah satu bentuk dari
fiksasi internal menggunakan plat yang terletidak sepanjang tulang dan
berfungsi sebagai jembatan yang difiksasi dengan sekrup.
Keuntungan :
1) Tercapainya kestabilan
dan perbaikan tulang seanatomis mungkin yang sangat penting bila ada cedera
vaskuler, saraf, dan lain-lain.
2) Aliran darah ke tulang
yang patah baik sehingga mempengaruhi proses penyembuhan tulang.
3) Klien tidak akan tirah
baring lama.
4) Kekakuan dan oedema
dapat dihilangkan karena bagian fraktur bisa segera digerakkan.
Kerugian :
1) Fiksasi interna
berarti suatu anestesi, pembedahan, dan jaringan parut.
2) Kemungkinan untuk
infeksi jauh lebih besar.
3) Osteoporosis bisa
menyebabkan terjadinya fraktur sekunder atau berulang.
2.
Anatomi Dan Fisiologi
a. Struktur Tulang
Tulang sangat bermacam-macam baik
dalam bentuk ataupun ukuran, tapi mereka masih punya struktur yang sama.
Lapisan yang paling luar disebut Periosteum dimana terdapat pembuluh darah dan
saraf.Lapisan dibawah periosteum mengikat tulang dengan benang kolagen disebut
benang sharpey, yang masuk ke tulang disebut korteks.Karena itu korteks
sifatnya keras dan tebal sehingga disebut tulang kompak.Korteks tersusun solid
dan sangat kuat yang disusun dalam unit struktural yang disebut Sistem
Haversian.Tiap sistem terdiri atas kanal utama yang disebut Kanal
Haversian.Lapisan melingkar dari matriks tulang disebut Lamellae, ruangan
sempit antara lamellae disebut Lakunae (didalamnya terdapat osteosit) dan
Kanalikuli.Tiap sistem kelihatan seperti lingkaran yang menyatu.Kanal Haversian
terdapat sepanjang tulang panjang dan di dalamnya terdapat pembuluh darah dan
saraf yang masuk ke tulang melalui Kanal Volkman.Pembuluh darah inilah yang
mengangkut nutrisi untuk tulang dan membuang sisa metabolisme keluar tulang.
Lapisan tengah tulang merupakan akhir dari sistem Haversian, yang didalamnya
terdapat Trabekulae (batang) dari tulang.Trabekulae ini terlihat seperti spon
tapi kuat sehingga disebut Tulang Spon yang didalam nya terdapat bone marrow
yang membentuk sel-sel darah merah. Bone Marrow ini terdiri atas dua macam
yaitu bone marrow merah yang memproduksi sel darah merah melalui proses
hematopoiesis dan bone marrow kuning yang terdiri atas sel-sel lemak dimana
jika dalam proses fraktur bisa menyebabkan Fat Embolism Syndrom (FES).
Tulang terdiri dari tiga sel
yaitu osteoblast, osteosit, dan osteoklast.Osteoblast merupakan sel pembentuk
tulang yang berada di bawah tulang baru.Osteosit adalah osteoblast yang ada
pada matriks.Sedangkan osteoklast adalah sel penghancur tulang dengan menyerap
kembali sel tulang yang rusak maupun yang tua.Sel tulang ini diikat oleh
elemen-elemen ekstra seluler yang disebut matriks.Matriks ini dibentuk oleh
benang kolagen, protein, karbohidrat, mineral, dan substansi dasar (gelatin)
yang berfungsi sebagai media dalam difusi nutrisi, oksigen, dan sampah
metabolisme antara tulang daengan pembuluh darah. Selain itu, didalamnya
terkandung garam kalsium organik (kalsium dan fosfat) yang menyebabkan tulang
keras.sedangkan aliran darah dalam tulang antara 200 – 400 ml/ menit melalui
proses vaskularisasi tulang (Black,J.M,et al,1993 dan Ignatavicius, Donna.
D,1995).
b. Tulang Panjang
Adalah tulang yang panjang
berbentuk silinder dimana ujungnya bundar dan sering menahan beban berat
(Ignatavicius, Donna.D, 1995).Tulang panjang terdiriatas epifisis, tulang
rawan, diafisis, periosteum, dan medula tulang.Epifisis (ujung tulang)
merupakan tempat menempelnya tendon dan mempengaruhi kestabilan sendi.Tulang
rawan menutupi seluruh sisi dari ujung tulang dan mempermudah pergerakan,
karena tulang rawan sisinya halus dan licin.Diafisis adalah bagian utama dari
tulang panjang yang memberikan struktural tulang.Metafisis merupakan bagian
yang melebar dari tulang panjang antara epifisis dan diafisis.Metafisis ini
merupakan daerah pertumbuhan tulang selama masa pertumbuhan. Periosteum
merupakan penutup tulang sedang rongga medula (marrow) adalah pusat dari
diafisis (Black, J.M, et al, 1993)
c. Tulang Humerus
Tulang humerus terbagi menjadi
tiga bagian yaitu kaput (ujung atas), korpus, dan ujung bawah.
1) Kaput
Sepertiga dari ujung atas humerus
terdiri atas sebuah kepala, yang membuat sendi dengan rongga glenoid dari
skapla dan merupakan bagian dari banguan sendi bahu.Dibawahnya terdapat bagian
yang lebih ramping disebut leher anatomik. Disebelah luar ujung atas dibawah
leher anatomik terdapat sebuah benjolan, yaitu Tuberositas Mayor dan disebelah
depan terdapat sebuah benjolan lebih kecil yaitu Tuberositas Minor. Diantara
tuberositas terdapat celah bisipital (sulkus intertuberkularis) yang membuat
tendon dari otot bisep.Dibawah tuberositas terdapat leher chirurgis yang mudah
terjadi fraktur.
2) Korpus
Sebelah atas berbentuk silinder
tapi semakin kebawah semakin pipih.Disebelah lateral batang, tepat diatas
pertengahan disebut tuberositas deltoideus (karena menerima insersi otot
deltoid). Sebuah celah benjolan oblik melintasi sebelah belakang, batang, dari
sebelah medial ke sebelah lateral dan memberi jalan kepada saraf radialis atau
saraf muskulo-spiralis sehingga disebut celah spiralis atau radialis.
3) Ujung Bawah
Berbentuk lebar dan agak pipih
dimana permukaan bawah sendi dibentuk bersama tulang lengan bawah.Trokhlea yang
terlatidak di sisi sebelah dalam berbentuk gelendong-benang tempat persendian
dengan ulna dan disebelah luar etrdapat kapitulum yang bersendi dengan radius.
Pada kedua sisi persendian ujung bawah humerus terdapat epikondil yaitu
epikondil lateral dan medial. (Pearce, Evelyn C, 1997)
d. Fungsi Tulang
1) Memberi kekuatan pada
kerangka tubuh.
2) Tempat mlekatnya otot.
3) Melindungi organ
penting.
4) Tempat pembuatan sel
darah.
5) Tempat penyimpanan
garam mineral.
(Ignatavicius,
Donna D, 1993)
3.
Etiologi
a. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan
patah tulang pada titik terjadinya kekerasan.Fraktur demikian demikian sering
bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring.
b. Kekerasan tidak
langsung
Kekerasan tidak langsung
menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat terjadinya
kekerasan.Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam jalur
hantaran vektor kekerasan.
c. Kekerasan akibat
tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot
sangat jarang terjadi.
Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan,
kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.(Oswari E, 1993)
4.
Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup
mempunyai kekeuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan (Apley, A. Graham,
1993). Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat
diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya
atau terputusnya kontinuitas tulang (Carpnito, Lynda Juall, 1995).Setelah
terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks,
marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak.Perdarahan terjadi
karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula
tulang.Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah.Jaringan
yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang
ditandai denagn vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel
darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan
tulang nantinya (Black, J.M, et al, 1993)
a. Faktor-faktor yang
mempengaruhi fraktur
1) Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang
bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap besar, waktu, dan arah tekanan
yang dapat menyebabkan fraktur.
2) Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting
dari tulang yang menentukan daya tahan untuk timbulnya fraktur seperti
kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau
kekerasan tulang.
( Ignatavicius, Donna D, 1995 )
b. Biologi penyembuhan
tulang
Tulang bisa beregenerasi sama
seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur merangsang tubuh untuk menyembuhkan
tulang yang patah dengan jalan membentuk tulang baru diantara ujung patahan
tulang.Tulang baru dibentuk oleh aktivitas sel-sel tulang. Ada lima stadium
penyembuhan tulang, yaitu:
1) Satu-Pembentukan
Hematoma
Pembuluh darah robek dan
terbentuk hematoma disekitar daerah fraktur.Sel-sel darah membentuk fibrin guna
melindungi tulang yang rusak dan sebagai tempat tumbuhnya kapiler baru dan
fibroblast. Stadium ini berlangsung 24 – 48 jam dan perdarahan berhenti sama
sekali.
2) Stadium
Dua-Proliferasi Seluler
Pada stadium initerjadi
proliferasi dan differensiasi sel menjadi fibro kartilago yang berasal dari
periosteum,`endosteum,dan bone marrow yang telah mengalami trauma. Sel-sel yang
mengalami proliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam dan
disanalah osteoblast beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis. Dalam
beberapa hari terbentuklah tulang baru yang menggabungkan kedua fragmen tulang
yang patah. Fase ini berlangsung selama 8 jam setelah fraktur sampai selesai,
tergantung frakturnya.
3) Stadium
Tiga-Pembentukan Kallus
Sel–sel yang berkembang memiliki
potensi yang kondrogenik dan osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel
itu akan mulai membentuk tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini
dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi dengan
mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati.Massa sel yang tebal dengan tulang yang
imatur dan kartilago, membentuk kallus atau bebat padapermukaan endosteal dan
periosteal. Sementara tulang yang imatur (anyaman tulang ) menjadi lebih padat
sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang pada 4 minggu setelah fraktur
menyatu.
4) Stadium
Empat-Konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan
osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah menjadi lamellar.Sistem ini
sekarang cukup kaku dan memungkinkan osteoclast menerobos melalui reruntuhan
pada garis fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang
tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat
dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk membawa beban yang normal.
5) Stadium
Lima-Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh
suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa bulan atau tahun, pengelasan
kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorbsi dan pembentukan tulang yang
terus-menerus. Lamellae yang lebih tebal diletidakkan pada tempat yang
tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum
dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur yang mirip dengan normalnya.
(Black, J.M, et al, 1993 dan
Apley, A.Graham,1993)
5.
Komplikasi fraktur
a. Komplikasi Awal
1) Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma
bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal,
hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan
emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan
pembedahan.
2) Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan
komplikasi serius yang terjadi karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan
pembuluh darah dalam jaringan parut.Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan
yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari
luar seperti gips dan embebatan yang terlalu kuat.
3) Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah
komplikasi serius yang sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang.FES terjadi
karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah
dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan
gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam.
4) Infeksi
System pertahanan tubuh rusak
bila ada trauma pada jaringan.Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit
(superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur
terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti
pin dan plat.
5) Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi
karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan
nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia.
6) Shock
Shock terjadi karena kehilangan
banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan
menurunnya oksigenasi.Ini biasanya terjadi pada fraktur.
b. Komplikasi Dalam Waktu
Lama
1) Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan
fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk
menyambung.Ini disebabkan karenn\a penurunan supai darah ke tulang.
2) Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan
fraktur berkkonsolidasi dan memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan
stabil setelah 6-9 bulan.Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang
berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis.Ini
juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.
3) Malunion
Malunion merupakan penyembuhan
tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk
(deformitas).Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik.
(Black, J.M, et al, 1993)
6.
Klasifikasi Fraktur
Penampikan fraktur dapat sangat
bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis , dibagi menjadi beberapa kelompok,
yaitu:
a. Berdasarkan sifat
fraktur.
1) Faktur Tertutup
(Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar,
disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi.
2) Fraktur Terbuka
(Open/Compound), bila terdapat hubungan antara hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.
b. Berdasarkan komplit
atau ketidakklomplitan fraktur.
1) Fraktur Komplit, bila
garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua korteks tulang
seperti terlihat pada foto.
2) Fraktru Inkomplit,
bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang seperti:
a) Hair Line Fraktur
(patah retidak rambut)
b) Buckle atau Torus
Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan kompresi tulang
spongiosa di bawahnya.
c) Green Stick Fraktur,
mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya yang terjadi pada tulang
panjang.
c. Berdasarkan bentuk
garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma.
1) Fraktur Transversal:
fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan akibat trauma angulasi
atau langsung.
2) Fraktur Oblik: fraktur
yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu tulang dan meruakan
akibat trauma angulasijuga.
3) Fraktur Spiral:
fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang disebabkan trauma
rotasi.
4) Fraktur Kompresi:
fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong tulang ke arah
permukaan lain.
5) Fraktur Avulsi:
fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot pada insersinya
pada tulang.
d. Berdasarkan jumlah
garis patah.
1) Fraktur Komunitif:
fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.
2) Fraktur Segmental:
fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan.
3) Fraktur Multiple:
fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang yang sama.
e. Berdasarkan pergeseran
fragmen tulang.
1) Fraktur Undisplaced
(tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi kedua fragmen tidak bergeser dan
periosteum nasih utuh.
2) Fraktur Displaced
(bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga disebut lokasi fragmen,
terbagi atas:
a) Dislokai ad
longitudinam cum contractionum (pergeseran searah sumbu dan overlapping).
b) Dislokasi ad axim
(pergeseran yang membentuk sudut).
c) Dislokasi ad latus
(pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh).
f. Fraktur Kelelahan:
fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
g. Fraktur Patologis:
fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang.
Pada fraktur tertutup ada
klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma,
yaitu:
a. Tingkat 0: fraktur
biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan lunak sekitarnya.
b. Tingkat 1: fraktur
dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan.
c. Tingkat 2: fraktur
yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam dan pembengkakan.
d. Tingkat 3: cedera
berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata ddan ancaman sindroma
kompartement.
(Apley, A. Graham, 1993,
Handerson, M.A, 1992, Black, J.M, 1995, Ignatavicius, Donna D, 1995, Oswari,
E,1993, Mansjoer, Arif, et al, 2000, Price, Sylvia A, 1995, dan Reksoprodjo,
Soelarto, 1995)
7.
Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan
yang penting adalah “pencitraan” menggunakan sinar rontgen (x-ray).
Selain foto polos x-ray (plane
x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya seperti:
1) Tomografi:
menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain tertutup yang
sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks
dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
2) Myelografi:
menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di ruang tulang
vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
3) Arthrografi:
menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa.
4) Computed
Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara transversal dari tulang
dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.
b. Pemeriksaan
Laboratorium
1) Kalsium Serum dan
Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
2) Alkalin Fosfat
meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam
membentuk tulang.
3) Enzim otot seperti
Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat Amino Transferase
(AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
c. Pemeriksaan lain-lain
1) Pemeriksaan
mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan mikroorganisme penyebab
infeksi.
2) Biopsi tulang dan
otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan diatas tapi lebih
dindikasikan bila terjadi infeksi.
3) Elektromyografi:
terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur.
4) Arthroscopy:
didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang berlebihan.
5) Indium Imaging: pada
pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang.
6) MRI: menggambarkan
semua kerusakan akibat fraktur.
B.
DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG LAZIM
DAN PERENCANAAN
1. Diagnosa Keperawatan
Adapun diagnosa keperawatan yang lazim dijumpai pada klien fraktur
adalah sebagai berikut :
a. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.
b. Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah (cedera vaskuler, edema, pembentukan trombus)
c. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif (imobilisasi)
d. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat, sekrup)
e. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit, taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang)
f. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan b/d kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada.
(Doengoes, 2000)
2. Intervensi Keperawatan
a. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringanlunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.
Tujuan:
Klien mengataka nyeri berkurang atau hilang dengan menunjukkan tindakan santai,
mampu berpartisipasi dalam beraktivitas, tidur, istirahat dengan tepat,
menunjukkan penggunaan keterampilan relaksasi dan aktivitas trapeutik sesuai
indikasi untuk situasi individual
Intevensi
Keperawatan :
1.
Pertahankan
imobilasasi bagian yang sakit dengan tirah baring, gips, bebat dan atau traksi
Mengurangi nyeri dan mencegah malformasi
2.
Tinggikan posisi ekstremitas
yang terkena.
Meningkatkan aliran balik vena, mengurangi edema/nyeri.
3.
Lakukan dan awasi latihan gerak
pasif/aktif.
Mempertahankan kekuatan otot dan meningkatkan
sirkulasi vaskuler.
4.
Lakukan
tindakan untuk meningkatkan kenyamanan (masase, perubahan posisi)Meningkatkan
sirkulasi umum, menurunakan area tekanan lokal dan kelelahan otot.
5.
Ajarkan penggunaan teknik
manajemen nyeri (latihan napas dalam, imajinasi visual, aktivitas dipersional)
Mengalihkan perhatian terhadap nyeri,
meningkatkan kontrol terhadap nyeri yang mungkin berlangsung lama.
6.
Lakukan
kompres dingin selama fase akut (24-48 jam pertama) sesuai keperluan.
Menurunkan edema dan mengurangi rasa nyeri.
7.
Kolaborasi
pemberian analgetik sesuai indikasi
Menurunkan nyeri melalui mekanisme
penghambatan rangsang nyeri baik secara sentral maupun perifer
b. Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah (cedera vaskuler, edema, pembentukan trombus)
Tujuan : Klien
akan menunjukkan fungsi neurovaskuler baik dengan kriteria akral hangat, tidak
pucat dan syanosis, bisa bergerak secara aktif.
Intervensi :
1.
Dorong klien untuk secara rutin
melakukan latihan menggerakkan jari/sendi distal cedera.
Meningkatkan sirkulasi darah dan mencegah kekakuan
sendi.
2.
Hindarkan
restriksi sirkulasi akibat tekanan bebat/spalk yang terlalu ketat. Mencegah stasis vena dan sebagai petunjuk
perlunya penyesuaian keketatan bebat/spalk.
3.
Pertahankan
letak tinggi ekstremitas yang cedera kecuali ada kontraindikasi adanya sindroma
kompartemen.
Meningkatkan drainase vena dan menurunkan edema
kecuali pada adanya keadaan hambatan aliran arteri yang menyebabkan penurunan
perfusi.
4.
Berikan
obat antikoagulan (warfarin) bila diperlukan.
Mungkin diberikan sebagai upaya profilaktik untuk
menurunkan trombus vena.
5.
Pantau
kualitas nadi perifer, aliran kapiler, warna kulit dan kehangatan kulit distal
cedera, bandingkan dengan sisi yang normal.
Mengevaluasi
perkembangan masalah klien dan perlunya intervensi sesuai keadaan klien.
c. Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli, perubahan membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti)
Tujuan : Klien
akan menunjukkan kebutuhan oksigenasi terpenuhi dengan kriteria klien tidak
sesak nafas, tidak cyanosis analisa gas darah dalam batas normal
Intervensi keperawatan :
1. Instruksikan/bantu latihan napas dalam dan
latihan batuk efektif.
Meningkatkan ventilasi alveolar dan perfusi.
2. Lakukan dan ajarkan perubahan posisi yang
aman sesuai keadaan klien. Reposisi meningkatkan drainase sekret dan
menurunkan kongesti paru.
3.
Kolaborasi pemberian obat
antikoagulan (warvarin, heparin) dan kortikosteroid sesuai indikasi.Mencegah terjadinya pembekuan darah pada
keadaan tromboemboli. Kortikosteroid telah menunjukkan keberhasilan untuk
mencegah/mengatasi emboli lemak.
4. Analisa pemeriksaan gas darah, Hb,
kalsium, LED, lemak dan trombosit
Penurunan PaO2 dan peningkatan PCO2 menunjukkan
gangguan pertukaran gas; anemia, hipokalsemia, peningkatan LED dan kadar
lipase, lemak darah dan penurunan trombosit sering berhubungan dengan emboli
lemak.
5. Evaluasi frekuensi pernapasan dan upaya
bernapas, perhatikan adanya stridor, penggunaan otot aksesori pernapasan,
retraksi sela iga dan sianosis sentral.
Adanya takipnea, dispnea dan perubahan mental
merupakan tanda dini insufisiensi pernapasan, mungkin menunjukkan terjadinya
emboli paru tahap awal.
d. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif (imobilisasi)
Tujuan : Klien
dapat meningkatkan/mempertahankan mobilitas pada tingkat paling tinggi yang
mungkin dapat mempertahankan posisi fungsional meningkatkan kekuatan/fungsi
yang sakit dan mengkompensasi bagian tubuh menunjukkan tekhnik yang memampukan
melakukan aktivitas
Intervensi
keperawatan :
1.
Pertahankan
pelaksanaan aktivitas rekreasi terapeutik (radio, koran, kunjungan teman/keluarga)
sesuai keadaan klien.
Memfokuskan perhatian, meningkatakan rasa kontrol
diri/harga diri, membantu menurunkan isolasi sosial.
2.
Bantu
latihan rentang gerak pasif aktif pada ekstremitas yang sakit maupun yang sehat
sesuai keadaan klien.
Meningkatkan
sirkulasi darah muskuloskeletal, mempertahankan tonus otot, mempertahakan gerak
sendi, mencegah kontraktur/atrofi dan mencegah reabsorbsi kalsium karena
imobilisasi.
3.
Berikan
papan penyangga kaki, gulungan trokanter/tangan sesuai indikasi. Mempertahankan posis fungsional
ekstremitas.
4.
Bantu
dan dorong perawatan diri (kebersihan/eliminasi) sesuai keadaan klien.
Meningkatkan kemandirian klien dalam perawatan
diri sesuai kondisi keterbatasan klien.
5.
Dorong/pertahankan
asupan cairan 2000-3000 ml/hari.
Mempertahankan hidrasi adekuat, men-cegah
komplikasi urinarius dan konstipasi.
6.
Berikan diet TKTP.
Kalori dan protein yang cukup diperlukan untuk
proses penyembuhan dan mem-pertahankan fungsi fisiologis tubuh.
7.
Kolaborasi
pelaksanaan fisioterapi sesuai indikasi.
Kerjasama dengan fisioterapis perlu untuk menyusun
program aktivitas fisik secara individual.
8.
Evaluasi kemampuan mobilisasi
klien dan program imobilisasi.
Menilai
perkembangan masalah klien.
e. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat, sekrup)
Tujuan
: Klien
menyatakan ketidaknyamanan hilang, menunjukkan perilaku tekhnik untuk mencegah
kerusakan kulit/memudahkan penyembuhan sesuai indikasi, mencapai penyembuhan
luka sesuai waktu/penyembuhan lesi terjadi.
Intervensi
Keperawatan :
1.
Pertahankan tempat tidur yang
nyaman dan aman (kering, bersih, alat tenun kencang, bantalan bawah siku,
tumit)
Menurunkan
risiko kerusakan/abrasi kulit yang lebih luas.
2.
Masase
kulit terutama daerah penonjolan tulang dan area distal bebat/gips.
Meningkatkan
sirkulasi perifer dan meningkatkan kelemasan kulit dan otot terhadap tekanan
yang relatif konstan pada imobilisasi.
3.
Lindungi
kulit dan gips pada daerah perianal.
Mencegah
gangguan integritas kulit dan jaringan akibat kontaminasi fekal.
4.
Observasi keadaan kulit,
penekanan gips/bebat terhadap kulit, insersi pen/traksi. Menilai
perkembangan masalah klien
f. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit, taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang
Tujuan : Klien
mencapai penyembuhan luka sesuai waktu, bebas drainase purulen atau eritema dan
demam.
Intervensi
Keperawatan:
1.
Lakukan perawatan pen steril
dan perawatan luka sesuai protocol
Mencegah
infeksi sekunderdan mempercepat penyembuhan luka.
2.
Ajarkan klien untuk
mempertahankan sterilitas insersi pen. Meminimalkan kontaminasi.
3.
Kolaborasi pemberian
antibiotika dan toksoid tetanus sesuai indikasi.
Antibiotikaspektrum
luas atau spesifik dapat digunakan secara profilaksis, mencegah atau mengatasi
infeksi. Toksoid tetanus untuk mencegah infeksi tetanus.
4.
Analisa
hasil pemeriksaan laboratorium (Hitung darah lengkap, LED, Kultur dan
sensitivitas luka/serum/tulang).
Leukositosis biasanya terjadi pada proses
infeksi, anemia dan peningkatan LED dapat terjadi pada osteomielitis. Kultur untuk mengidentifikasi organisme penyebab infeksi.
5.
Observasi
tanda-tanda vital dan tanda-tanda
peradangan lokal pada luka. Mengevaluasi
perkembangan masalah klien.
g.
Kurang pengetahuan
tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan b/d kurang terpajan atau
salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif, kurang
akurat/lengkapnya informasi yang ada.
Tujuan : klien akan menunjukkan pengetahuan meningkat
dengan kriteria klien mengerti dan memahami tentang penyakitnya
Intervensi keperawatan :
1.
Kaji
kesiapan klien mengikuti program pembelajaran.
Efektivitas proses pemeblajaran
dipengaruhi oleh kesiapan fisik dan mental klien untuk mengikuti program
pembelajaran.
2.
Diskusikan
metode mobilitas dan ambulasi sesuai program terapi fisik. Meningkatkan partisipasi dan kemandirian klien dalam perencanaan
dan pelaksanaan program terapi fisik.
3.
Ajarkan
tanda/gejala klinis yang memerluka evaluasi medik (nyeri berat, demam,perubahan
sensasi kulit distal cedera).
Meningkatkan kewaspadaan klien
untuk mengenali tanda/gejala dini yang memerulukan intervensi lebih lanjut.
4.
Persiapkan klien untuk
mengikuti terapi pembedahan bila diperlukan.
Upaya
pembedahan mungkin diperlukan untuk mengatasi maslaha sesuai kondisi klien.
DAFTAR PUSTAKA
Apley, A. Graham ,Buku
Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley, Widya Medika, Jakarta, 1995.
Black, J.M, et al, Luckman and Sorensen’s Medikal
Nursing :A Nursing Process Approach, 4 th
Edition, W.B. Saunder Company, 1995.
Carpenito, Lynda Juall, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, EGC, Jakarta, 1999.
Dudley,
Hugh AF, Ilmu Bedah Gawat Darurat,
Edisi II .FKUGM,1986
.
Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, Sistem
Kesehatan Nasional, Jakarta, 1991.
Henderson,
M.A, Ilmu Bedah untuk Perawat,
Yayasan Essentia Medika, Yogyakarta, 1992.
Hudak and
Gallo, Keperawatan Kritis, Volume I
EGC, Jakarta, 1994.
Oswari, E, Bedah dan Perawatannya, PT Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 1993.
Price,
Evelyn C, Anatomi dan Fisiologi Untuk
Paramedis, Gramedia, Jakarta 1997.
Reksoprodjo, Soelarto, Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah FKUI/RSCM, Binarupa Aksara, Jakarta,
1995.
Tucker,
Susan Martin, Standar Perawatan Pasien,
EGC, Jakarta, 1998
Tidak ada komentar:
Posting Komentar